Selamat Datang

Selamat Datang

Kamis, 28 Maret 2013

Laporan Praktikum Kultur HUVECs

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kultur sel (bahasa Inggris: cell culture) ialah suatu proses dimana suatu sel dari suatu jaringan diambil dan ditumbuhkan pada kondisi yang terkontrol dan aseptik. Sel yang digunakan untuk dikultur biasanya diambil dari jaringan eukaryota. Sel tersebut akan tumbuh dan bertambah banyak dalam kondisi in vitro. Kultur sel (bahasa Inggris: cell line) juga dapat berarti suatu koloni sel yang telah mapan, sehingga mampu melakukan proliferasi tanpa batas waktu (Wikipedia, 2009). Koloni sel tersebut dapat bermutasi menjadi koloni dengan kultur berbeda, atau merupakan sub-kultur hasil mutasi dari kultur sel sebelumnya (Wikipedia, 2011). Sel endotel pembuluh darah merupakan satu lapis sel yang terletak diantara aliran darah dan jaringan. Selain sebagai barier terhadap difusi makromolekul ke jaringan, sel endotel pembuluh darah juga mempunyai fungsi lain, seperti pengaturan tonus otot polos pembuluh darah, haemostasis dan koagulasi, pertahanan tubuh dan angiogenesis. Dengan adanya disfungsi endotel akibat beberapa kondisi seperti diabetes, dan penyakit jantung akan berdampak pada timbulnya penyulit penyakit tersebut, seperti mikro angiopati, iskemia, gagal ginjal dan sebagainya (Nurhidayat, 2010). Dalam mempelajari peran sel endotel (struktur dan fungsi) pada patomekanisme penyakit atau mengembangkan obat yang bertarget pada sel endotel, dapat digunakan penelitian in vivo menggunakan hewan coba atau manusia dan atau in vitro menggunakan kultur sel. Ada dua sumber sel yang dapat dipergunakan dalam pembuatan kultur sel endotel yaitu sel binatang dan sel manusia. Pemilihan sumber sel endotel tergantung pada tujuan penelitian dan ketersediaan sel. Untuk kultur sel endotel pembuluh darah yang berasal dari sel manusia yang lazim digunakan berasal dari vena umbilikal (Nurhidayat, 2010). Pesatnya kemajuan ilmu Biologi Molekuler memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu Kebidanan molekuler, khususnya dalam bidang patobiologi molekuler yang mencakup pemahaman sign dan symptom secara lebih mendasar. Pemahaman gangguan haemostasis pada tataran molekuler yang belum memunculkan sign dan symptom sebagai manifestasi klinik, akan menghasilkan diagnosis molekuler yang bersifat lebih akurat dan dini. Keberhasilan dalam mengungkap patobiologi molekuler suatu penyakit merupakan titik cerah penanganan paripurna penyakit tersebut, mulai dari pencegahan, diagnosis, dan terapi berdasarkan ”molecular target” nya, sehingga dapat mengurangi morbiditas dan efek samping pada saat intervensi medik (FK UNS, 2013). Dalam laporan praktikum ini akan dibahas mengenai “Pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs)” yang akan menambah wawasan kita mengenai pentingnya pemeriksaan ini bagi tenaga kesehatan khususnya bidan dalam mengidentifikasi, lokalisasi, dan karakterisasi suatu sel tertentu, serta menentukan diagnosis, therapi, dan prognosis suatu penyakit tertentu pada pasien. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana terurai dimuka, maka dapat dirumuskan masalah : “Bagaimana pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs)?” 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengenalkan dan mengetahui konsep dasar, kegunaan, prinsip, metode, bahan isolasi sel endotel, media kultur, alat (instrumen), pengukuran Ca2+ sitosol (Fura 2-AM), cara pembuatan larutan, prosedur kerja dan hasil serta meningkatkan kemampuan dalam teknik pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Untuk mengetahui konsep dasar pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.2 Untuk mengetahui kegunaan pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.3 Untuk mengetahui prinsip pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.4 Untuk mengetahui metode dalam pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.5 Untuk mengetahui bahan isolasi dalam pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.6 Untuk mengetahui media kultur dalam pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.7 Untuk mengetahui alat (instrument) dalam pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.8 Untuk mengetahui cara pengukuran Ca2+ sitosol (Fura 2-AM) dalam pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.9 Untuk mengetahui cara pembuatan larutan dalam pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.10 Untuk mengetahui prosedur kerja isolasi dan pembuatan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.3.2.11 Untuk mengetahui hasil pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoritis Dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan kebidanan khususnya yang terkait dengan pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs). 1.4.2 Manfaat Praktisi Dasar Praktik laboratorium dari pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) yang telah diperoleh di perkuliahan dapat digunakan sebagai dasar pemeriksaan penunjang bagi profesi kebidanan dalam memberikan pelayanan kebidanan kepada ibu dan bayi, keluarga maupun masyarakat demi meningkatkan kesehatan ibu dan anak, keluarga dan masyarakat.  BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HASIL PENELITIAN 2.1 Konsep Dasar Menurut Suryowinoto (1991) dalam Muhammad (2012), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Jadi, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tertentu yang mempunyai sifat seperti induknya. Kultur jaringan (Tissue Culture) merupakan salah satu cara perbanyakan jaringan secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan jaringan dengan cara mengisolasi bagian jaringan, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian jaringan dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi jaringan lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan jaringan dengan menggunakan bagian vegetatif jaringan menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Pengertian kultur sel adalah sel yang dapat hidup secara in vitro dan masih mempunyai sifat-sifat mirip dengan sel intak/sel asalnya, Lepas dari pengaruh sistemik, sel-sel tertentu mengadakan proliferasi tetapi masih dalam keadaan tidak terdiferensiasi. Kultur sel bukan suatu teknik baru. Merupakan metode untuk mempelajari perubahan fungsi sel/jaringan tanpa pengaruh sistemik. Mula-mula merupakan fragmen jaringan yang diletakkan di cawan kultur. kultur sel dimulai dengan menanam sel-sel embrionik. Kultur sel dapat dipakai untuk bermacam penelitian, misalnya antara lain antivitas intraseluler, intraseluler flux, ekologi sel, interaksi antar sel (Noor, 2013). Sel merupakan unit struktural fungsional terkecil dari kehidupan. Sel dibentuk atas berbagai kompartemen. Organ tubuh manusia terbentuk dari sel dan matriks interselular. Untuk mengamati sel dan jaringan tubuh yang berukuran kecil diperlukan mikroskop dan pengetahuan pemrosesan jaringan dan istilah-istilah dalam pengamatan mikroskopis sel (Zulham, 2011). Gambar 2.1 Struktur Matriks Ekstraseluler (Frisca, 2009) Sel endotel pembuluh darah merupakan satu lapis sel yang terletak diantara aliran darah dan jaringan. Selain sebagai barier terhadap difusi makromolekul ke jaringan, sel endotel pembuluh darah juga mempunyai fungsi lain, seperti pengaturan tonus otot polos pembuluh darah, haemostasis dan koagulasi, pertahanan tubuh dan angiogenesis. Dengan adanya disfungsi endotel akibat beberapa kondisi seperti diabetes, dan penyakit jantung akan berdampak pada timbulnya penyulit penyakit tersebut, seperti mikro angiopati, iskemia, gagal ginjal dan sebagainya (Nurhidayat, 2010). Dalam mempelajari peran sel endotel (struktur dan fungsi) pada patomekanisme penyakit atau mengembangkan obat yang bertarget pada sel endotel, dapat digunakan penelitian in vivo menggunakan hewan coba atau manusia dan atau in vitro menggunakan kultur sel. Ada dua sumber sel yang dapat dipergunakan dalam pembuatan kultur sel endotel yaitu sel binatang dan sel manusia. Pemilihan sumber sel endotel tergantung pada tujuan penelitian dan ketersediaan sel. Untuk kultur sel endotel pembuluh darah yang berasal dari sel manusia yang lazim digunakan berasal dari vena umbilikal (Nurhidayat, 2010). Kultur sel endotel manusia (HUVECs) diperoleh dari vena umbilikus manusia. Umbilikus yang digunakan harus memenuhi kriteria inklusi, yaitu didapatkan dari hasil persalinan Sectio Caesaria (SC) yang meliputi kehamilan fisiologis (normal), kehamilan dengan pinggul sempit dan kehamilan dengan letak melintang. Sedangkan umbilikus hasil persalinan SC yang tidak boleh digunakan adalah kehamilan disertai infeksi, hipertensi atau kondisi ketuban pecah dini (Djati MS, 2010). Umbilikus yang didapat dari hasil persalinan disimpan dalam media transport (cord solution) dengan komposisi NaBic, M 199 dan gentamycin. Penyimpanan dalam medium ini bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisiologi umbilikus sebelum dilakukan kultur. Umbilikus harus segera ditumbuhkan paling lama 12 jam setelah proses persalinan agar kondisi sel yang didapatkan setelah ditumbuhkan dapat optimal (Djati MS, 2010). Sel endotel digunakan dalam penelitian ini karena menurut Boulomie (1999), HUVECs mengekspresikan reseptor fungsional terhadap leptin yang merupakan produk dari ob gene. Sel endotel ditumbuhkan dalam medium komplit yang terdiri dari M 199 yang mengandung FBS 10 %. 2.2 Kegunaan Kegunaan kultur sel menurut Muhammad (2012) adalah : 1) Melestarikan sifat sel. 2) Menghasilkan sel yang memiliki sifat sama. 3) Menghasilkan sel baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat. 4) Dapat menghasilkan sel yang bebas virus. 5) Dapat dijadikan sarana untuk melestarikan plasma nutfah. 6) Untuk menciptakan varietas baru melalui rekayasa genetika. Sel yang telah direkayasa dikembangkan melalui kultur jaringan sehingga menjadi sel baru secara lengkap. 7) Pelaksanaannya tidak tergantung pada musim. Beberapa kelebihan dan keuntungan penggunaan kultur sel meliputi : 1) Mudah dikontrol fisikokimia lingkungan (pH, suhu, tekanan oksigen, dan CO2) dapat dikontrol sesuai dengan keinginan. 2) Mudah dibuat homogen sehingga mudah dianalisis. 3) Ekonomis, tidak perlu memakai banyak hewan coba. 4) Mudah diadakan perlakuan. Kekurangan dan kerugian kultur sel antara lain : 1) Memerlukan keahlian, mempunyai peneliti yang sangat menyenangi kultur sel, selalu menjaga aseptis, tertip dan sabar 2) Gambaran histologis sudah tidak nampak. 3) Tidak atau sukar untuk mengedentifikasi sifat-sifat seperti pada in vivo, misalkan akibat pengaruh sistemik. (Noor, 2013) Kegunaan kultur sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) diantaranya adalah untuk mengetahui : 1) Aktivitas intraseluler sel endotel HUVECs 2) Interaksi lingkungan terhadap sel endotel HUVECs 3) Produk sel endotel HUVECs 4) Genetika sel endotel HUVECs 5) Transplantasi dan transfeksi sel endotel HUVECs Dalam penelitian ini menggunakan skrining bioassay umum adalah untuk informasi awal tentang potensi bahan farmakologi untuk selanjutnya sebagai prediksi indikasi terapetik dalam bidang kesehatan (Permatasari N, 2012). 2.3 Prinsip Kultur sel merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari sekelompok sel serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi sel baru yang lengkap kembali. Teori yang mendasari tehnik kultur sel adalah teori sel oleh Schawann dan Scheleiden (1838) yang menyatakan sifat totipotensi (total genetic potential) sel, yaitu bahwa setiap sel manusia yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi sel manusia yang utuh, jika kondisinya sesuai (Muhammad, 2012). Prinsip dalam pemeriksaan kultur sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) harus dilakukan dengan teknik steril.dan dalam kondisi aseptik. Sel HUVECs dapat hidup bebas apabila diberi kondisi tertentu sesuai dengan kebutuhan hidup sel. Sel dapat menunjukkan tanda-tanda hidup dan dapat mengekspresikan karakter sel sesuai dengan tingkat diferensiasinya. Sel ditumbuhkan di dalam media kultur. Media kultur berisi bahan-bahan untuk pertumbuhan sel seperti nutrien, growth factors, sumber ion, antibiotik, prekursor biosintesis, metabolit, stimulan dan vitamin. Di dalam media kultur, sel mampu berproliferasi membentuk selapis sel (mono layer) pada dasar/dinding tabung. 2.4 Metode Primary cell culture (Kultur sel primer), setelah mendapat sel yang sudah terpisah-pisah langsung ditanam di dalam cawan kultur. Cara menanam kultur sel primer, diantaranya : 1) Kerjalah dengan aseptik dan teliti. 2) Dipikirkan sel apa yang akan dikultur. 3) Sel dipisah-pisahkan dari jarinan – Enzimatik: tripsin, kolagenase – Mekanik: gojog-gojog dan vorteks bergantian 4) Disaring dengan saringan yang tidak perlu terlalu kecil. 5) Dihitung selnya sebelum ditanam, sel ada di dalam media tanpa zat penumbuh. Dengan memakai hemositometer. 6) Kalau hemositometernya mempunyai 2 bilik, untuk rata-rata dapat menghitung ulang di bilik satunya. Jika hanya satu bilik, cuci dulu dan hitung lagi dengan suspensi baru. (Noor, 2013) 2.5 Bahan Isolasi Sel Endotel Kolagenase (Sigma tipe IIA) dilarutkan pada serum free (medium 199, glutamine, peisilin streptomisin) yang sudah disentralisasi melalui filtrasi dengan prefilter 0,5 dan filter 0,2 µm. Konsentrasi akhir kolagenase yang dipergunakan sebesar 0,5 mg/ml (Permatasari N, 2012). Perbandingan pemakaian larutan kolagenase dan panjang umbilicus adalah 10-20 cm umbilicus tiap kolagen, HCl 0,1 N dan 5 N (Permatasari N, 2012). Gambar 2.2 Bahan Isolasi Sel Endotel 2.6 Media Kultur 2.6.1 Serum Free, yang mengandung : 1) Medium 199 (Gibco) 2) Penisilin (~ 100 µ/ml) 3) Streptomisin (~ 100 µ/ml) (Sigma) 4) Larutan natriumbicarbonat-phenol red (21 mM/ml) 5) Glutamine (2 mM/ml) 2.6.2 Media Kultur, yang mengandung : 1) Serum free medium 2) New Born calf Serum (NBS) (Permatasari N, 2012) 2.7 Alat (Instrumen) Untuk Kultur HUVECs 2.7.1 Laminar air flow biohazard type 2 (Esco Bre) (a) (b) Gambar 2.3a,b. Alat Laminar air flow biohazard type 2 (Esco Bre) 2.7.2 Timbangan magnetic Gambar 2.4 Timbangan magnetic 2.7.3 Lampu ultraviolet Gambar 2.5 Lampu ultraviolet 2.7.4 Sentrifuge Gambar 2.6 Sentrifuge 2.7.5 Incubator CO2 (a) (b) Gambar 2.7a,b. Incubator CO2 2.7.6 Mikroskop inverted (Nikon) Gambar 2.8 Mikroskop inverted (Nikon) 2.7.7 Tabung CO2 (eraus) Gambar 2.9 Tabung CO2 (eraus) 2.7.8 Mikropipet Gambar 2.10 Mikropipet 2.7.9 Flask kultur, luasnya 25 cm2 (a) (b) Gambar 2.11a,b Flask Kultur 2.7.10 TC Well Plate (Well plate 6) Gambar 2.12 TC Well Plate (Well plate 6) 2.7.11 Klem Tali Pusat dan Pinset Gambar 2.13 Klem Tali Pusat Dan Pinset 2.7.12 Kanul Gambar 2.14 Kanul 2.7.13 Cairan water dan PBSA Gambar 2.15 Cairan Water dan PBSA 2.7.14 Sarung tangan Gambar 2.16 Sarung Tangan 2.7.15 Aluminium foil Gambar 2.17 Aluminium Foil 2.7.16 Spuit 10 cc Gambar 2.18 Spuit 10 cc (Permatasari N, 2012) 2.8 Pengukuran Ca2+ Sitosol (Fura 2-AM) 2. 8.1 Bahan 1) Fura 2-AM (Sigma) yang dilarutkan dalam DMSO 2) Hepes Bufer 3) Fetal Bovine Serum (FBS) 2. 8.2 Alat 1) Mikroskop fluoresens Multicompound Nikon Optiphot2 2) Dilengkapi dengan kamera komputer dan image analyzer software. (Permatasari N, 2012) 2.9 Cara Pembuatan Larutan Pembuatan larutan untuk isolasi sel endotel menurut kriteria Jones (1996) adalah : 2.9.1 Pembuatan larutan HEPES 1) Di larutan 47,5 gram HEPES ke dalam 200 ml deionized water. 2) Disterilisasi secara filtrasi melalui filter 0,2 µ, simpan dalam -20 °C/6 bulan. 2.9.2 Pembuatan larutan bicarbonate phenol red 1) Dilarutkan 44 gram sodium hydrogen bicarbonate dan 30 mg phenol red ke dalam 1000 ml deionized water. 2) Diukur pH 7,6. 3) Sterilisasi ke dalam autoclave selama 10 menit pada suhu 115 °C. 4) Disimpan pada suhu 4 °C/6 bulan. 2.9.3 Pembuatan larutan gentamicin 1) Dilarutkan 75 mg gentamicin sulfat ke dalam 10 ml deionized water. 2) Sterilisasi dengan cara filtrasi melalui filter 0,2 µm 3) Disimpan pada suhu -20 °C/6 bulan. 2.9.4 Pembuatan medium cord solution 1) Diambil 8 ml HBSS dan ditambahkan 80 ml deionized water. 2) Dimasukkan 3,75 ml sodium hydrogen bicarbonate. 3) Ditambahkan 2,5 ml HEPES. 4) Ditambahkan 1,25 ml gentamycin. 5) Dilarutkan 200 µl dan 2 tetes HCl 10 N, pH 7,4 – 7,8. 6) Simpan dalam refrigerator suhu 4 °C. 2.9.5 Pembuatan larutan penisilin streptomisin 1) Dilarutkan 23,95 penisilin dan 52,50 mg streptomisin ke dalam 10 ml deionized water. 2) Sterilisasi dengan filtrasi 0,2 µm setiap 2,5 ml. 3) Disimpan pada suhu 20 °C/6 bulan. 2.9.6 Pembuatan larutan glutamine 1) Dilarutkan 0,292 g L-Glutamine dalam 10 ml deionized water. 2) Sterilisasi dengan filtrasi melalui prefilter 0,5 µm, kemudian filter 0,2 µm. 3) Disimpan pada suhu 20 °C/6 bulan. 2.9.7 Pembuatan medium serum free 1) Disediakan M 199 100 ml dalam kondisi tertutup aluminium foil, kemudian masukkan 1,25 ml penisilin streptomisin. 2) Diukur pH 7,2. 3) Ditambahkan 5 ml larutan bicarbonate phenol red dan 1,25 ml glutamine. 4) Sterilisasi dengan filtrasi 0,2 µm. 5) Disimpan pada suhu 4 °C. 2.9.8 Pembuatan medium kultur 1) Diambil 20 ml serum free pH 7,2 100 ml dalam kondisi tertutup aluminium foil, kemudian tambahkan 2,5 ml Fetal Bovine Serum (FBS). 2) Dimasukkan 2,5 ml NBS. 3) Diukur pH 7,1. 4) Sterilisasi dengan filtrasi 0,2 µm. 5) Disimpan pada suhu 4 °C. 2.9.9 Pembuatan larutan collagenase 1) Dilarutkan 0,005 g collagenase dalam 8 ml serum free. 2) Ukur pH 7,20. 3) Ditambahkan 50 µl HCl 1 N dan satu tetes HCl. 4) Sterilisasi dengan filtrasi melalui filter 0,2 µm. 5) Disimpan pada suhu 4 °C. (Permatasari N, 2012) 2.10 Prosedur Kerja Isolasi Dan Pembuatan Kultur HUVECs 2.10.1 Umbilicus dibersihkan dari jaringan dan bekuan darah yang ada dengan kertas tisu yang disemprot dengan alkohol 70%. 2.10.2 Masing-masing ujung umbilicus dipotong transversal sehingga terlihat dua arteri dan satu vena. 2.10.3 Vena akan terlihat mempunyai dinding yang lebih tebal, lebih besar dan elastis. Dicari vena yang paling besar dengan menggunakan pinset. Gambar 2.19 Langkah Ke-3 2.10.4 Kanul dimasukkan pada salah satu ujung vena (± 1,5 cm) kemudian di klem dengan catatan kanul tidak boleh lepas tapi tidak boleh buntu. Gambar 2.20 Langkah Ke-4 2.10.5 Vena dibersihkan/dibilas dengan 10 ml water 1 kali kemudian dibilas lagi dengan larutan PBSA 10 ml melalui kanul yang telah terpasang dengan spuit 10 cc sampai darahnya hilang dan bersih (bilasan dengan PBSA bisa dilakukan berkali-kali sampai darah benar-benar bersih). Gambar 2.21 Langkah Ke-5 2.10.6 Setelah bersih, ujung umbilicus yang lain di klem. Gambar 2.22 Langkah Ke-6 2.10.7 Masukkan larutan collagenase 5 ml seperti cara diatas dan spuit dibiarkan tetap menancap pada kanul. Enzim collagenase dipergunakan untuk merontokkan sel endotel. Gambar 2.23 Langkah Ke-7 2.10.8 Umbilicus yang mengandung larutan collagenase dihangatkan dengan cara didekap dengan kedua belah tangan dan didekatkan dengan api yang menyala di ruang laminar (agar mencapai suhu ~ 37 °C) selama 5-10 menit. Dalam penelitian ini menggunakan waktu 7 menit. 2.10.9 Collagenase yang telah mengandung endotel dikeluarkan dari umbilicus dengan cara menyedot melalui spuit yang masih terpasang pada ujung kanul. 2.10.10 Larutan collagenase dimasukkan pada tabung sentrifuge steril 15 cc. Gambar 2.24 Langkah Ke-10 2.10.11 Umbilicus dibilas dengan 8 ml larutan PBSA seperti diatas untuk membilas sel endotel yang masih tersisa kemudian disedot kembali seperti cara diatas dan ditambahkan ke tabung sentrifuge yang berisi larutan collagenase. Gambar 2.25 Langkah Ke-11 2.10.12 Larutan yang telah mengandung sel endotel tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Gambar 2.26 Langkah Ke-12 2.10.13 Supernatan dibuang kemudian ditambahkan 4 ml medium kultur (medium kerja M 199) pada pellet dan diresuspensi dengan pipetting sehingga sel endotel terpisah. Medium Kerja (M 199) ditambahkan SF yang mengandung tripsin EDTA. Gambar 2.27 Langkah Ke-13 2.10.14 Larutan dipindahkan ke dalam TC well plate (six well plate) yang sebelumnya dilapisi gelatin 0,2%. Gambar 2.28 Langkah Ke-14 2.10.15 Dimasukkan pada incubator CO2 5% pada suhu 37 °C selama 30 menit atau sampel sel lepas (sel confluence : sel penuh dan tumbuh). Gambar 2.29 Langkah Ke-15 2.10.16 Enam sumuran (six well plate) diambil dan sel endotel diamati dengan mikroskop inverted dengan perbesaran 400 kali. Gambar 2.30 Langkah Ke-16 2.10.17 Jika sel sudah menempel pada dasar sumuran, medium kultur diambil dan sel dibilas dengan larutan serum free 3 ml melalui filter 0,2 µm. Serum free diambil dengan spuit steril dan digantikan dengan medium kultur 4 ml melalui filter 0,2 µm. 2.10.18 Enam sumuran dimasukkan dalam incubator sampai monolayer (membentuk coblastone) ± 3-4 hari. 2.10.19 Medium diganti tiap 2 hari sekali. (Permatasari N, 2012) 2.11 Hasil Dan Diskusi Pemeriksaan Kultur Di Sel Endotel Vena Umbilicus Manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) Secara umum, proses pelaksanaan langkah-langkah kultur sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) sudah diterapkan dengan benar dibawah bimbingan laboran dari Laboratorium Biomedik, dan semua peserta mengikuti dengan antusias prosesnya mulai dari awal, namun karena memang keterbatasan alat, bahan dan media kultur tidak semua mahasiswa mencoba dari awal sampai akhir, dan dilakukan prosesnya secara bergantian pada tiap-tiap proses. Kembali lagi pada tujuan pembelajaran praktikum ini, maka hal tersebut kami lakukan agar proses pembelajaran berjalan sesuai, dan yang terpenting mahasiswa mengetahui mana teknik yang benar, dan mana teknik yang salah, serta memahami solusi pemecahan masalahnya. Dalam praktikum kultur sel endotel manusia (HUVECs) diperoleh dari vena umbilikus manusia. Umbilikus yang digunakan telah memenuhi kriteria inklusi, yaitu didapatkan dari hasil persalinan Sectio Caesaria (SC) yang meliputi kehamilan fisiologis (normal), kehamilan dengan pinggul sempit dan kehamilan dengan letak melintang. Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah umbilikus hasil persalinan SC dengan kehamilan disertai infeksi, hipertensi atau kondisi ketuban pecah dini. Umbilikus yang telah memenuhi kriteria inklusi diatas kemudian disimpan dalam media transport (cord solution) dengan komposisi NaBic, M 199 dan gentamycin. Penyimpanan dalam medium ini bertujuan untuk mempertahankan kondisi fisiologi umbilikus sebelum dilakukan kultur. Umbilikus segera ditumbuhkan secara in vitro setelah proses persalinan dalam waktu 12 jam agar kondisi sel yang didapatkan setelah ditumbuhkan dapat optimal. Prinsip dalam pemeriksaan kultur sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) dalam praktikum ini dilakukan dengan teknik steri dan dalam kondisi aseptik serta ditumbuhkan dalam media yang memungkinkan sel HUVECs untuk hidup (disesuaikan dengan kebutuhan hidup sel) yang berisi bahan-bahan untuk pertumbuhan sel seperti nutrien, growth factors, sumber ion, antibiotik, prekursor biosintesis, metabolit, stimulan dan vitamin. Di dalam media kultur, sel mampu berproliferasi membentuk selapis sel (mono layer) pada dasar/dinding tabung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan primary cell culture yangmana sel dipisahkan dari jaringan secara enzimatik menggunakan kolagenase. Hasil pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) melalui pengamatan dengan menggunakan mikroskop inverted dengan perbesaran 400 kali yang dilengkapi dengan kamera komputer image analyzer software ditunjukkan pada gambar di bawah ini : (a) (b) (c) (d) Gambar 2.30a,b,c,d Hasil Pemeriksaan Kultur Sel Endotel HUVECs  Diskusi : Menurut Arjita, dkk (2002), ciri-ciri sel endotel normal secara morfologis adalah bentuk sel endotel cobblestone dengan ciri spesifik sel pada bagian tengah tampak bulat dan terang (menyala), bentuk sel pipih dengan jarak antara sel yang teratur dan rapat, permukaan sel mulus ditandai dengan penampakan inti, membran plasma, sitoplasma, extra celluler matriks (ECM) dan tidak terdapat sel yang apoptosis serta monolayer primer. Evaluasi kultur sel diantaranya menurut Noor (2013) : 1) Jika sel hidup, media jernih dan warna media agak menguning 2) Jika sel mati, media makin jambu dan agak keruh 3) Dengan melihat dibawah mikroskop inversi, kelihatan sel melekat di dasar cawan 4) Jika sel mengapung di media setelah 24 jam, berarti sel mati Dari hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop inverted dengan perbesaran 400 kali yang dilengkapi dengan kamera komputer image analyzer software, terdapat sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) dengan ciri-ciri bentuk sel endotel cobblestone dengan ciri spesifik sel pada bagian tengah tampak bulat dan terang (menyala), bentuk sel pipih dengan jarak antara sel yang teratur dan rapat, permukaan sel mulus ditandai dengan penampakan inti, membran plasma, sitoplasma, extra celluler matriks (ECM) dan tidak terdapat sel yang apoptosis serta monolayer primer yang tumbuh confluent (Sel confluent dicirikan dengan populasi sel yang memenuhi tempat attachment dan saling bersentuhan antar sel menandakan adanya hubungan komunikasi agar sel tumbuh) pada media yang jernih dan warna media agak menguning dan menempel/melekat pada dasar media flask kultur, terdapat bagian sel yang akan tumbuh menjadi sel endotel baru, selain itu disekitarnya masih terdapat sisa-sisa sel eritrosit yang kemungkinan disebabkan karena pencucian menggunakan PBSA yang belum bersih. Jika menanam sel yang masih tercampur dengan eritrosit, pisahkan eritrosit dari sel-sel yang diinginkan dengan menambahkan EDTA. Ditunggu sebentar baru sel terpisah dari eritrosit. Dalam keadaan ini, sel dalam keadaan hidup dan siap diperlakukan untuk keperluan penelitian. Akan tetapi pada praktikum ini masih sebatas sampai flask kultur, belum sampai pada tahap subkultur dikarenakan keterbatasan waktu.   BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop inverted dengan perbesaran 400 kali yang dilengkapi dengan kamera komputer image analyzer software, terdapat sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) dengan ciri-ciri bentuk sel endotel cobblestone dengan ciri spesifik sel pada bagian tengah tampak bulat dan terang (menyala), bentuk sel pipih dengan jarak antara sel yang teratur dan rapat, permukaan sel mulus ditandai dengan penampakan inti, membran plasma, sitoplasma, extra celluler matriks (ECM) dan tidak terdapat sel yang apoptosis serta monolayer primer yang tumbuh confluent pada media yang jernih dan warna media agak menguning dan menempel/melekat pada dasar media flask kultur, terdapat bagian sel yang akan tumbuh menjadi sel endotel baru, selain itu disekitarnya masih terdapat sisa-sisa sel eritrosit yang kemungkinan disebabkan karena pencucian menggunakan PBSA yang belum bersih. Jika menanam sel yang masih tercampur dengan eritrosit, pisahkan eritrosit dari sel-sel yang diinginkan dengan menambahkan EDTA. Ditunggu sebentar baru sel terpisah dari eritrosit. Dalam keadaan ini, sel dalam keadaan hidup dan siap diperlakukan untuk keperluan penelitian. Akan tetapi pada praktikum ini masih sebatas sampai flask kultur, belum sampai pada tahap subkultur dikarenakan keterbatasan waktu. 3.2 Saran Diharapkan pemeriksaan kultur di sel endotel vena umbilicus manusia/Human Umbillical Vein Endothelial Cells (HUVECs) dapat meningkatkan kompetensi profesi kebidanan dalam bidang biologi molekuler yang bisa bermanfaat terhadap pemberian pelayanan kebidanan kepada ibu, bayi, keluarga dan masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesehatan bagi ibu, bayi, keluarga maupun masyarakat.

Laporan Praktikum ELIZA,Spektrofotometri, Immunohistokimia, Dot Blotting

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spektrofotometri merupakan salah satu metode dalam kimia analisis yang digunakan untuk menentukan komposisi suatu sampel baik secara kuantitatif dan kualitatif yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan cahaya. Peralatan yang digunakan dalam spektrofotometri disebut spektrofotometer. Cahaya yang dimaksud dapat berupa cahaya visibel, UV dan inframerah, sedangkan materi dapat berupa atom dan molekul namun yang lebih berperan adalah elektron valensi. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya fluoresensi denan menggunakan spectrofotometer. Elektroforesis sering digunakan untuk karakterisasi protein antigen berdasarkan berat molekul, selain itu juga untuk mengetahui titik isoelektrik dengan IEF (Iso Electric Focousing). Metode elektroforesis yang digunakan diantaranya SDS-PAGE, Dot blotting dan Western blotting. Imunohistokimia adalah suatu metode kombinasi dari anatomi, imunologi dan biokimia untuk mengidentifikasi komponen jaringan yang memiliki ciri tertentu dengan menggunakan interaksi antara antigen target dan antibodi spesifik yang diberi label. Dengan menggunakan imunohistokimia, kita dapat melihat distribusi dan lokalisasi dari komponen seluler spesifik diantara sel dan jaringan lain di sekitarnya dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa. Komponen seluler tersebut dapat terlihat karena kompleks antigen-antibodi yang sudah dilabel akan memberikan warna yang berbeda dari sekitarnya. Pesatnya kemajuan ilmu Biologi Molekuler memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu Kebidanan molekuler, khususnya dalam bidang Patobiologi molekuler yang mencakup pemahaman sign dan symptom secara lebih mendasar. Pemahaman gangguan homeostasis pada tataran molekuler yang belum memunculkan sign dan symptom sebagai manifestasi klinik, akan menghasilkan diagnosis molekuler yang bersifat lebih akurat dan dini. Keberhasilan dalam mengungkap Patobiologi molekuler suatu penyakit merupakan titik cerah penanganan paripurna penyakit tersebut, mulai dari pencegahan, diagnosis, dan terapi berdasarkan ”molecular target” nya, sehingga dapat mengurangi morbiditas dan efek samping pada saat intervensi medik (FK UNS, 2013). Dalam makalah ini akan dibahas mengenai “Pemeriksaan Spektofotometri, ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis); Western Blotting (Imunoperoksidase); Dot Blotting (Immunoperoksidase), Imunohistokimia” yang akan menambah wawasan kita mengenai pentingnya pemeriksaan ini bagi tenaga kesehatan khususnya bidan dalam mengidentifikasi, lokalisasi, dan karakterisasi suatu antigen tertentu, serta menentukan diagnosis, therapi, dan prognosis suatu penyakit tertentu pada pasien. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana terurai dimuka, maka dapat dirumuskan masalah : “Bagaimana pemeriksaan spektofotometri, ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis); Western Blotting (Imunoperoksidase); Dot Blotting (Immunoperoksidase), Imunohistokimia?” 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui konsep dasar, kegunaan, prinsip, prosedur kerja dan hasil dari pemeriksaan spektofotometri, ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis); Western Blotting (Imunoperoksidase); Dot Blotting (Imunoperoksidase), Imunohistokimia. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Untuk mengetahui konsep dasar, kegunaan, prinsip, prosedur kerja dan hasil dari pemeriksaan spektofotometri pada kadar absorbansi dan konsentrasi dari standart BSA (Bovine Serum Albumin) dan sampel salmonella thyposa pada protein sapi. 1.3.2.2 Untuk mengetahui konsep dasar, kegunaan, prinsip, prosedur kerja dan hasil pemeriksaan ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) pada penghitungan kadar IL-1β (absorbansi dan konsentrasi) pada sampel salmonella typosa. 1.3.2.3 Untuk mengetahui konsep dasar, kegunaan, prinsip, prosedur kerja dan hasil dari pemeriksaan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis), Western Blotting (Imunoperoksidase) dan Dot Blotting (Immunoperoksidase) penghitungan berat molekul dan antigen spesifik yang terekspresi pada protein villi AD36 sampel bakteri salmonella typosa. 1.3.2.4 Untuk mengetahui konsep dasar, kegunaan, prinsip, prosedur kerja dan hasil dari pemeriksaan Imunohistokimia dari preparat e-Nos dan NFкB pada jaringan otak mencit yang terpapar malaria mergie. 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoritis Dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan kebidanan khususnya yang terkait dengan pemeriksaan spektofotometri, ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis); Western Blotting (Imunoperoksidase); Dot Blotting (Imunoperoksidase), Imunohistokimia. 1.4.2 Manfaat Praktisi Dasar Praktik laboratorium dari pemeriksaan spektofotometri, ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis); Western Blotting (Imunoperoksidase); Dot Blotting (Imunoperoksidase), Imunohistokimia yang telah diperoleh di perkuliahan dapat digunakan sebagai dasar pemeriksaan penunjang bagi profesi kebidanan dalam memberikan pelayanan kebidanan kepada ibu dan bayi, keluarga maupun masyarakat demi meningkatkan kesehatan ibu dan anak, keluarga dan masyarakat.  BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemeriksaan Spektofotometri 2.1.1 Konsep Dasar Merupakan salah satu metode analisa kuantitatif suatu zat kimia berdasarkan sifat absorbsinya terhadap radiasi sinar elektromagnetik serta interaksinya antara zat kimia dengan radiasi sinar elektromagnetik. Alat yang digunakan untuk mengukur transmitan atau adsorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang adalah spektrofotometer. 2.1.2 Kegunaan Untuk mengetahui kadar albumin dalam serum atau plasma dengan menentukan absorbansi dan konsentrasi dari suatu zat yang terlarut serta menentukan transmitan dengan panjang gelombang 540 nm dengan menggunakan alat spektrofotometer dengan metode biuret. Fungsi reagent dalam percobaan spektrofotometri ini adalah untuk memunculkan karakteristik zat yang terdapat dalam larutan yang akan dianalisa (Day,Jr.R.A.,Underwood, 1993). Fungsi pengenceran adalah untuk meminimalisir kesalahan, karena hukum Beer berlaku pada larutan encer agar larutan dapat ditembus cahaya. 2.1.3 Prinsip 1) Prinsip pemeriksaan Serum atau plasma yang mengandung albumin bila direaksikan dengan pereaksi biuret maka akan terbentuk kompleks berwarna biru atau ungu yang dapat diukur absorbansinya dengan spektrofotometri visible pada panjang gelombang 540-546 nm. Pada praktikum ini, panjang gelombang yang digunakan adalah 540 nm. 2) Prinsip kerja a) Terdiri dari dua bagian, yaitu : (1) Spektrometer, bagian untuk memproduksi cahaya pada warna/panjang gelombang tertentu, dan (2) Fotometer, bagian untuk mengukur intensitas cahaya. b) Spektrometer dan fotometer didisain sehingga suatu kuvet larutan dapat diletakkan diantara keduanya. c) Jumlah cahaya yang melewati/menembus kuvet diukur oleh fotometer. d) Fotometer memberikan signal ke alat display (biasanya galvanometer). e) Signal berubah sesuai dengan perubahan jumlah cahaya yang diserap oleh larutan. 3) Prinsip pengukuran dengan spektofotometer (1) Bila jarak cahaya adalah tetap (untuk satu spektrofotometer), maka hukum Beer dapat ditulis sebagai : I : I0 = 10kc = T Keterangan : k = adalah kosntanta yang baru, dan T = transmitan dari larutan (2) Terdapat hubungan logaritmik antara transmitan dan konsentrasi dari senyawa berwarna, yaitu : (a) log T = log (1/T) = kc = densitas optik (optical density) (O.D.) = Abs (b) O.D. dinyatakan sebagai absorban unit (abs), merupakan skala logaritmik, atau sebagai % transmitans yang merupakan skala aritmatika. Abs merupakan skala yang sangat berguna dalam uji kolorimetri. (3) Untuk A=1, maka T=10%; untuk A=2, maka T=99%; untuk A=3, maka T=99,9% 2.1.4 Prosedur Kerja 1) Membuat reagen Biuret a) NaOH 2,5 M 15 ml, caranya : Karena NaOH bentuknya padat, sehingga harus diencerkan dengan menghitung molaritas : M = 2,5 = 2,5 X . 15= 25 37,5 X = 25 X = X = 1,5 gram NaOH 1,5 gram dilarutkan dengan aquadest 15 ml. b) NaOH 15 ml + CuSO4 0,075 gram c) NaOH 15 ml + CuSO4 0,075 gram + Kalium Natrium 0,3 gram d) NaOH 15 ml + CuSO4 0,075 gram + Kalium Natrium 0,3 gram + ddH2O sampai dengan 50 ml (ddH2O 35 ml + 15 ml NaOH; CuSO4; Kalium Natrium) e) NaOH 15 ml + CuSO4 0,075 gram + Kalium Natrium 0,3 gram + ddH2O sampai dengan 50 ml + KI (Kalium Iodida) 0,05 gram. 2) Membuat stok standart BSA (Bovine Serum Albumin) = 10 mg/ml=0,01 gram/ml (0,01 gram diencerkan dalam 1 ml atau cc) 3) a) Membuat standart BSA dari stok standart BSA yang dibuat sebelumnya. Untuk menghitung pengencer BSA dengan volume NaCl 0,9% (pengencer) : 15 ml (NaCL) x 15 = 0,135 gram (toleransi 0,02) Dalam 15 ml NaCl, dibutuhkan standart BSA 0,135 gram. Tabel 2.1 Standart BSA No Volume BSA yang dipipet Volume NaCl 0,9% (pengencer) Konsentrasi Standart BSA 1 12,5 µL 987,5 µL 0,125 mg/ml 2 25 µL 975 µL 0,25 mg/ml 3 50 µL 950 µL 0,5 mg/ml 4 100 µL 900 µL 1 mg/ml 5 200 µL 800 µL 2 mg/ml b) Sampel 25 µL sampel untuk mencari konsentrasi + 975 µL PBS (Phospat Buffer Salin yang berfungsi untuk mempertahankan pH). Sampel terdiri dari : (1) STY052AP1 diambil 25 µL + PBS 975 µL (2) STY052AP2 diambil 25 µL + PBS 975 µL (3) STY052AP3 diambil 25 µL + PBS 975 µL (4) STY052CAWR diambil 25 µL + PBS 975 µL (5) STY052PPLT diambil 25 µL + PBS 975 µL 4) Masing-masing standart BSA yang dibuat diatas dan sampel (harus dikerjakan bersamaan waktunya) ditambah 3 ml reagen biuret, dicampur dengan di vortex (alat) yang berfungsi agar cairan tercampur/homogeny. 5) BSA standart dan sampel diinkubasi dalam suhu 37 °C selama 30 menit. 6) Diukur di spektofotometer pada (panjang gelombang) 540 nm Blangko : Aquades (sebagai titik nol) Standart : memakai standart BSA 7) Absorbansi yang diperoleh dimasukkan ke rumus excel sehingga diperoleh penyamaan y=ax + b, dimana : Y= absorbansi X= konsentrasi x Fp (Faktor pengencer) 975 PBS + 25 sampel = = 40 x 2.2 Pemeriksaan ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) 2.2.1 Konsep Dasar Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA adalah suatu metode yang dikerjakan sebagai sarana mengukur kadar antigen atau antibodi dalam suatu medium cair, seperti serum atau organ yang telah dicairkan/dilarutkan. Spectrofotometer adalah sebuah alat yang dapat mengukur jumlah dari cahaya yang menembus sumuran dari microplate. Kompleks antigen-antibodi yang kita buat pada well mcroplate akan memberikan perubahan warna pada cairan tersebut, sehingga akan memberikan optical density yang berbeda. Optical density dapat dinyatakan meningkat atau menurun berdasarkan pengenceran material standart, sehingga akan menghasilkan kurva dose-response yang nantinya akan digunakan untuk mengestimasi kadar protein tersebut. Teknik ELISA adalah system sederhana, mudah, sensitif, cepat, reliabel, dan adaptable untuk mendeteksi secara mikrokuantisasi dai protein Ag atau Ab. Gambar 2.1 Metode Pemeriksaan ELIZA 2.2.2 Kegunaan ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri, industri makanan untuk mendeteksi allergen potensial dalam makanan seperti susu, kacang, walnut, almond, dan telur. ELISA juga dapat digunakan dalam bidang toksikologi untuk uji pendugaan cepat pada berbagai kelas obat. Dalam penggunaan sehari-hari ELISA bisa digunakan untuk melabel suatu antigen atau mengetahui antibodi yang ada dalam tubuh manusia maupun hewan. Apabila kita ingin mengetahui antigen apa yang ada di dalam tubuh, maka yang diendapkan adalah antibodi-nya, begitu pula sebaliknya. Fungsi dari test ELISA yaitu bukan hanya untuk mengetahui keberadaan suatu antigen dengan antibodi tetapi juga untuk mengukur kadar antigen atau antibodi tersebut dengan menggunakan alat SPEKTROFOTOMETER. 2.2.3 Prinsip 1) Fase coating, fase reaksi Antigen (Ag) Antibodi (Ab) dan fase reaksi kimiawi. 2) Salah satu dari immunoreactant (Ag atau Ab) dilekatkan mikrotiter plate dengan cara absorpsi. 3) Jumlah Ag/Ab dideteksi dengan menambahkan suatu substrate chromogenic, menggunakan alat ELIZA reader (prinsip alat = spektofotometer) Gambar 2.2 Prinsip ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) Secara praktis, diklasifikasikan dalam 2 macam : 1) competitive assays menggunakan Ag/Ab-E conjugate; 2) non competitive assays menggunakan teknik “sandwich” (menggunakan 2 detektor, dimana Ab sekunder dikonjugasi dengan indicator enzim). Dalam pengertian sederhana, sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada permukaan tersebut, sehingga akan berikatan dengan antigennya. Antibodi ini terikat dengan suatu enzim, dan pada tahap terakhir, ditambahkan substansi yang dapat diubah oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dideteksi. Dalam ELISA fluoresensi, saat cahaya dengan panjang gelombang tertentu disinarkan pada suatu sampel, kompleks antigen/antibodi akan berfluoresensi sehingga jumlah antigen pada sampel dapat disimpulkan berdasarkan besarnya fluoresensi denan menggunakan spectrofotometer. Metode ELISA yang dilakukan dalam praktikum ini merupakan metode untuk mengukur kadar IL-1β dalam serum pasien. Prinsipnya adalah adanya ikatan antigen-antibodi yang akan dibaca dengan reaksi enzimatis yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan intensitas warna pada larutan. Intensitas warna ini kemudian akan diukur pada ELISA reader. Metode ELISA dengan cara diatas adalah model ELISA indirek atau tidak langsung. Metode ini menggunakan ikatan antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang telah dikonjugasikan dengan biotin dan biotin ini akan diikat oleh enzim SAHRP yang akan bereaksi dengan substrat TMB. Penggunaan model ELISA ini bertujuan supaya terjadi amplifikasi reaksi enzimatis yang sehingga intensitas warna yang terjadi akan lebih kuat dan pembacaannya juga lebih mudah. 2.2.4 Prosedur Kerja 1) Mengacu pada tata letak lembar esai untuk menentukan jumlah sumur yang akan digunakan dan menempatkan setiap sumur yang tersisa dengan pengering ke dalam kantong kembali dan segel Ziploc. Simpan sumur yang tidak terpakai pada suhu 4°C. 2) 50 µL pipet pengencer standart atau media kultur jaringan di sumur S0 (0 pg/ml standart). 3) 50 µL pipet standart #melalui 1# 5 di sumur yang sesuai standart untuk sumuran 1-5 4) 50 µL pipet sampel di sumuran yang sesuai  sampel serum ada 3. Keterangan Poin 3 dan 4 : 1 strip isi 8 sumuran (5 untuk standart dan 3 untuk sampel). 5) 50 µL pipet antibodi di masing-masing sumuran kecuali di sumuran yang kosong  50 µL antibodi dimasukkan pada masing-masing sumuran dalam 1 strip (5 untuk standart dan 3 untuk sampel). 6) Tekan piringan dengan lembut untuk mencampur isi. 7) Segel piringan dan diinkubasi di suhu ruangan selama 3 jam. 8) Kosongkan isi sumuran dan cuci dengan menambahkan 300 µL cairan pencuci (Washing Buffer/WB) di tiap sumuran. Ulangi pencucian kedua sampai total 3 kali pencucian. Setelah selesai dicuci, kosongkan atau aspirasi sumuran dan tegas dalam menekan (diketok piringan) dengan kain handuk atau tissue untuk menghapus WB yang tersisa dan untuk membuang kelebihan reaksi. 9) 100 µL pipet preparat strepavidin-cairan HRP di masing-masing sumuran kecuali pada sumuran yang kosong (untuk reaksi kompleks avidin-biotin) dan ditutup. 10) Segel piringan dan diinkubasi di suhu ruangan selama 30 menit. 11) Kosongkan isi sumuran dan dicuci dengan menambahkan 30 µL cairan pencuci/WB di masing-masing sumuran. Ulangi pencucian kedua sampai total 3 kali pencucian. Setelah selesai mencuci, kosongkan atau aspirasi sumuran dan tegas dalam menekan (diketok piringan) dengan kain handuk atau tissue untuk menghapus WB yang tersisa dan untuk membuang kelebihan reaksi. 1 x cuci  keringkan 2 x cuci  keringkan 3 x cuci  keringkan 12) Ditambahkan 100 µL pipet cairan substrat di masing-masing sumuran (8 sumuran)  berwarna biru. Fungsi : untuk visualisasi reaksi antigen-antibodi. 13) Diinkubasi selama 30 menit di suhu ruangan gelap  cairan tidak dibuang. 14) Langsung ditambahkan cairan stop 100 µL di masing-masing sumuran. Reaksi stop ini dan piringan sebaiknya segera dibaca  berwarna kuning. 15) Sumur yang nomer 1 kosong diisi aquabidest 200 µL  sumur yang kosong terbaca sebagai sumuran kosong. Baca densitas optic 450 nm mengacu dengan koreksi antara 570 dan 590 nm. Jika pembaca piringan tidak mampu membaca sumur kosong, manual substrat mengartikan densitas optic sumuran kosong dari semua yang terbaca. 2.3 Pemeriksaan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis), Western Blotting (Immunoperoksidase) Dan Dot Blotting (Immunoperoksidase) 2.3.1 SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis) 1) Konsep Dasar Pada SDS-PAGE, protein dielektroforesis dalam detergen ionic, yaitu Sodium Dodecyl Sulphate (SDS). Detergen ini akan mengikat residu hidrophobik dari bagian belakang peptide, salah satu dari setiap asam amino, sehingga dapat membuka rantai peptide secara komplit. PProtein SDS-komplek akan migrasi melalui poliakrilamid tergantung dari berat molekulnya. Konsep SDS-PAGE : a) memisahkan protein berdasar BM b) merupakan teknik analisis campuran protein yang paling sering digunakan c) merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik. Kecepatan bergerak tergantung pada muatan, bentuk dan ukuran à untuk pemisahan makromolekul d) memerlukan matriks penyangga à gel poliakrilamid 2) Kegunaan Untuk mengkarakterisasi protein berdasarkan berat molekul, struktur subunit dan kemurnian protein. 3) Prinsip a) Protein bereaksi dengan detergen anionik (sodium dodecyl sulfate, atau sodium lauryl sulfate) membentuk kompleks yang bermuatan negatif. b) Protein terpisah berdasarkan perbedaan muatan dan ukuran melalui pori2 pada matriks penyangga gel poliakrilamid. c) Protein yang tersangkut pada gel diwarnai dengan zat pewarna commasie blue atau silver nitrat à membentuk pita-pita protein yang berwarna. 4) Prosedur Kerja a) Membuat main gel dan stacking gel 3% Tabel 2.2 Main Gel No Main Gel 12,5% 1 slap (µL) 1 Acrylamida (karsinogenik) 30% 2063 2 Tris HCl 1,5 M pH 8,8 1250 3 Aquades steril 1635 4 SDS 10% 50 5 APS 10% 50 6 Temed 10 Kemudian dicampur dalam gelas reaksi Tabel 2.3 Stacking Gel No Stacking Gel 3% 12,5 1 slap (µL) 1 Acrylamida (karsinogenik) 30% 257,5 2 Tris HCl 1 M pH 6,8 312,5 3 Aquades steril 662,5 4 SDS 10% 12,5 5 APS 10% 3,75 6 Temed 2,5 Kemudian dicampur dalam gelas reaksi b) Main gel dan stacking gel dimasukkan pada sumuran elektroforesis. c) 20 µL sampel ditambah 20 µL RSB dimasukkan dalam eppendorf (1) 20150P2 20 µL + RSB 20 µL (2) 20150P3 20 µL + RSB 20 µL (3) 8873P3 20 µL + RSB 20 µL (4) 8873P4 20 µL + RSB 20 µL d) Dipanaskan selama 5 menit pada air mendidih  sampel divortex. e) Masukkan sampel pada sumuran gel elektroforesis.Di tiap sumur untuk 1 sampel 20 µL diberikan dalam 2 x pemberian (10µL + 10µL) f) Running sampel pada 120 V selama 90 menit g) Angkat gel, lakukan staining diatas shaker selama 20-30 menit (dengan Commasie brilliant blue R 250) h) Pindahkan gel kedalam larutan destaining, ± 1-2 jam (sambil tetap dishaker) i) Lakukan destaining semalam diatas shaker sampai gel kelihatan bersih j) Hitung berat molekul (BM) protein pada band protein yang tampak pada gel. 2.3.2 Western Blotting (Immunoperoksidase) 1) Konsep Dasar Disebut juga dengan “protein immunoblot”. Metode yang luas digunakan untuk mendeteksi protein spesifik atau antigen (Ag) dalam homogenat / ekstrak. 2) Kegunaan Untuk mendeteksi protein spesifik atau antigen (Ag) dalam homogenat / ekstrak. 3) Prinsip a) Sampel protein (polipeptida) dipisahkan dengan SDS-PAGE, kemudian ditransfer ke kertas nitroselulose atau PVDF. b) Polipeptida spesifik diidentifikasi menggunakan Ab (monoklonal atau poliklonal) yang bereaksi spesifik dengan polipeptida pada kertas. c) Terkadang diperlukan Ab sekunder (antibodi terhadap IgG spesies yang digunakan membuat Ab primer). d) Ab detektor harus dilabel radioisotop, atau dikonjugasi dengan petanda anzim atau sistim avidin-biotin. 4) Prosedur Kerja a) Menyiapkan SDS-PAGE b) Transfer pada membrane nitroselulosa pada arus 0,3 A dan tegangan 20 V selama 2 jam. c) Ponceau 2%, potong protein penanda d) Bilas dengan H2O sampai tinggal warna pita e) Blocking dengan TBS-Skim Milk 5% semalam pada suhu 4°C. Washing TBS-Tween 0,05% (2 x 10 menit), goyang pelan. f) Inkubasi dalam antibody primer, overnight 4°C. Washing TBS-Tween 0,05% (2 x 10 menit), goyang pelan. g) Inkubasi dalam antibosi sekunder (Peroksidase/Biotin Conjugate) 2 jam, suhu ruang, goyang pelan. Washing TBS-Tween 0,05% (2 x 10 menit), goyang pelan. h) Inkubasi dalam SAHRP 1 jam, suhu ruang, goyang pelan. Washing TBS-Tween 0,05% (2 x 10 menit), goyang pelan. i) Substrat TMB ± 20 menit, dalam ruang gelap. j) Stop dengan aquadest dan keringkan anginkan. 2.3.3 Dot Blotting (Immunoperoksidase) 1) Konsep Dasar Metode dot blotting dikembangkan untuk semiquantitatif pada uji imun untuk mendeteksi antigen. 2) Kegunaan Untuk mengetahui jenis antigen bukan berat molekul protein, namun estimasi konsentrasi antigen dapat diketahui pada dot blotting ini tetapi jarang akurat karena sulit untuk dikatakan akurat terhadap warna yang timbul pada blots tersebut. Metode ini cukup baik untuk digunakan uji atau skrining dengan sampel yang cukup banyak. 3) Prinsip a) Merupakan metode western blot yang sederhana b) Biomolekul dideteksi tanpa pemisahan elektroforesis seperti pada western blot, tetapi dapat dideteksi langsung pada sampel yang masih crude. c) Sampel diteteskan pada membran, kemudian dideteksi menggunakan antibodi (primer atau sekunder) seperti pada western blot. d) Teknik ini menghemat waktu, tetapi : tidak diketahui ukuran dari molekul target dan 2 molekul yang berbeda terdeteksi sebagai 1 blot. e) Dot blot hanya mengkonfirmasi ada atau tidak ada terhadap molekul target. 4) Prosedur Kerja a) Membran nitroselulosa dirangkai pada alat Bio-Dot apparatus Bio-Rad b) Protein (Ag) dimasukkan semua sumuran 50 µL c) Degas sampai benar-benar terserap d) Blocking dengan TBS-Skim Milk 5% semalam pada suhu 4°C. Washing TBS-Tween 0,05% (3 x 3 menit), goyang pelan. e) Inkubasi dalam antibodi primer, overnight 4°C. Washing TBS-Tween 0,05% (3 x 3 menit), goyang pelan. f) Inkubasi dalam antibodi sekunder (Peroksidase/Biotin Conjugate) 50 µL 2 jam, suhu ruang, goyang pelan. 50 µL di masing-masing sumur : sumuran pertama terdiri dari 7 sumuran (1 kontrol dan 6 sampel). Sedangkan sumuran kedua terdiri dari 4 sumuran (4 sampel). Washing TBS-Tween 0,05% (3 x 3 menit), goyang pelan  cucian 1 selama 3 menit kemudian buang cucian kedua selama 3 menit kemudian buang  cucian ketiga selama 3 menit kemudian buang. g) Inkubasi dalam SAHRP 1 jam, suhu ruang, goyang pelan. Washing TBS-Tween 0,05% (3 x 3 menit), goyang pelan. h) Substrat TMB ± 20 menit, dalam ruang gelap. i) Stop dengan aquadest dan keringkan anginkan. 2.4 Pemeriksaan Imunohistokimia 2.4.1 Konsep Dasar Imunohistokimia adalah suatu metode kombinasi dari anatomi, imunologi dan biokimia untuk mengidentifikasi komponen jaringan yang memiliki ciri tertentu dengan menggunakan interaksi antara antigen target dan antibodi spesifik yang diberi label. Dengan menggunakan imunohistokimia, kita dapat melihat distribusi dan lokalisasi dari komponen seluler spesifik diantara sel dan jaringan lain di sekitarnya dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa. Komponen seluler tersebut dapat terlihat karena kompleks antigen-antibodi yang sudah dilabel akan memberikan warna yang berbeda dari sekitarnya. Imunohistokimia dibagi menjadi 2 metode, yaitu metode direct dan indirect. Pada metode direct, antibodi spesifik yang mengenali antigen jaringan akan dimodifikasi dengan mengkonjugasikan molekul indikator pada antibodi tersebut. Molekul indikator tersebut dapat berupa molekul yang berpendar seperti biotin atau enzim peroksidase, sehingga apabila diberikan substrat akan memberikan warna pada jaringan tersebut. Selanjutnya dalah metode indirect, pada metode ini antibodi spesifik yang mengenali antigen jaringan disebut sebagai antibodi primer dan tidak dilakukan modifikasi pada antibodi ini. Namun diperlukan antibodi lain yang dapat berikatan dengan antibodi primer yang disebut dengan antibodi sekunder. Antibodi sekunder ini dimodifikasi sehingga memiliki molekul indikator pada antibodi tersebut. Setiap 1 antibodi primer dapat dikenali oleh lebih dari 1 antibodi sekunder, oleh karena itu, setelah diberikan substrat akan terbentuk warna yang lebih jelas pada jaringan tersebut. Langkah-langkah dalam melakukan imunohistokimia dibagi menjadi 2, yaitu preparasi sampel dan labeling. Preparasi sampel adalah persiapan untuk membentuk preparat jaringan dari jaringan yang masih segar. Preparasi sample terdiri dari pengambilan jaringan yang masih segar, fiksasi jaringan biasanya menggunakan formaldehid, embedding jaringan dengan parafin atau dibekukan pada nitrogen cair, pemotongan jaringan dengan menggunakan mikrotom, deparafinisasi dan antigen retrieval untuk membebaskan epitop jaringan, dan bloking dari protein tidak spesifik lain. Sampel labeling adalah pemberian bahan-bahan untuk dapat mewarnai preparat. Sampel labeling terdiri dari imunodeteksi menggunakan antibodi primer dan sekunder, pemberian substrat, dan counterstaining untuk mewarnai jaringan lain di sekitarnya. 2.4.2 Kegunaan Teknik imunohistokimia bermanfaat untuk identifikasi, lokalisasi, dan karakterisasi suatu antigen tertentu, serta menentukan diagnosis, therapi, dan prognosis kanker. Teknik ini diawali dengan pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati dibawah mikroskop. Interaksi antara antigen-antibodi adalah reaksi yang tidak kasap mata. Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan reaksi untuk mengidentifikasi marker. Marker dapat berupa senyawa berwarna : Luminescence, zat berfluoresensi : fluorescein, umbelliferon, tetrametil rodhamin, logam berat : colloidal, microsphere, gold, silver, label radioaktif, dan enzim : Horse Radish Peroxidase (HRP) dan alkaline phosphatase. Enzim (yang dipakai untuk melabel) selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak larut) yang dapat diamati dengan mikroskop bright field (mikroskop bidang terang). Akan tetapi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dunia biologi, teknik imunohistokimia dapat langsung diamati (tanpa direaksikan lagi dengan kromogen yang menghasilkan warna) dibawah mikroskop fluorescense. 2.4.3 Prinsip Nama imunohistokimia diambil dari nama immune yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah penggunaan antibodi dan histo menunjukkan jaringan secara mikroskopis. Dengan kata lain, imunohistokimia adalah metode untuk mendeteksi keberadaan antigen spesifik di dalam sel suatu jaringan dengan menggunakan prinsip pengikatan antara antibodi (Ab) dan antigen (Ag) pada jaringan hidup. Pemeriksaan ini membutuhkan jaringan dengan jumlah dan ketebalan yang bervariasi tergantung dari tujuan pemeriksaan. Prinsip metode ini adalah pengukuran serapan cahaya kompleks berwarna ungu dari protein yang bereaksi dengan pereaksi biuret dimana, yang membentuk kompleks adalah protein dengan ion Cu2+ yang terdapat dalam pereaksi biuret dalam suasana basa. Semakin tinggi absorbansi yang diberikan, semakin tinggi pula kandungan albumin yang terdapat di dalam serum tersebut. Dalam pereaksi biuret terkandung 3 macam reagen yaitu reagen yang pertama adalah CuSO4 dalam aquadest dimana reagen ini berfungsi sebagai penyedia ion Cu2+ yang nantinya akan membentuk kompleks dengan protein. Reagen yang kedua adalah K-Na-Tartrat yang berfungsi untuk mencegah terjadinya reduksi pada Cu2+ sehingga tidak mengendap. Reagen yang ketiga adalah NaOH dimana fungsinya adalah membuat suasana basa. Suasana basa akan membantu pembentukan Cu(OH)2 yang nantinya akan menjadi Cu2+ dan 2OH-. Pada tabung dimasukkan Natrium sulfit 25% sebnyak 2 mL ini kemudian dimasukkan sampel plasma 0,2 mL dan 2 mL kemudian dikocok kuat. Penambahan natrium sulfit dan eter ini adalah berguna untuk memisahkan antara albumin dengan protein plasma lainnya seperti globulin, fibrinogen dan lain-lain. Selanjutnya didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan cairan, lapisan atas terdiri dari eter dan protein plasma lainnya. Sedangkan bagian bawah mengandung albumin sehingga lapisan bagian atas dibuang dan lapisan bagian bawah kemudian ditambahkan dengan pereaksi biuret dan dikocok. Pada saat sampel dikocok, jangan sampai menimbulkan buih karena akan mempengaruhi pengukuran absorbansi. Dan setelah ditetesi pereaksi biuret, sampel didiamkan selama 14-30 menit. 30 menit ini merupakan operating time yaitu waktu yang dibutuhkan agar seluruh reaktan/protein bereaksi seluruhnya dengan reagen. Setelah 30 menit, maka sampel diukur absorbansinya dengan alat spektrofotometer dengan panjang gelombang 540-546 nm. Panjang gelombang 540 nm merupakan panjang gelombang serapan maksimum untuk warna ungu. 2.4.4 Prosedur Kerja 1) Resep larutan a) PBS (1) NaH2PO4.2H2O 2,4 gram (2) Na2HPO4 1,2 gram (3) KH2PO4 0,7 gram (4) KCl 6,8 gram Dilarutkan dalam aquadest 1000 ml, diukur pada pH 7,4 b) Sodium Sitrat Buffer Na3C6H5O7 2,94 gram Dilarutkan dalam aquadest 1000 ml, diukur pada pH 6,0 2) Deparafinasi Fungsi deparafinasi adalah untuk menghilangkan paraffin pada jaringan (suhu ruang). Sebelum dideparafinasi slide dipanaskan pada suhu 60 °C selama 60 menit kemudian ditambah larutan dibawah ini secara berurutan : a) Xilol 2 x 10 menit b) Ethanol absolute 2 x 10 menit c) Ethanol 90% 1 x 5 menit d) Ethanol 80% 1 x 5 menit e) Ethanol 70% 1 x 5 menit f) Aquades steril 3 x 5 menit 3) Antigen retrivel dengan Buffer Sitrat Tujuannya adalah agar epitop dari antigen terekspresi. Langkahnya : a) Rendam slide dalam chamber berisi buffer sitrat pH 6,0. Chamber kemudian direndam dalam waterbath suhu 95 °C selama 20 menit. b) Keluarkan slide dari waterbath, tunggu sampai suhu ruang ± 20 menit. c) Cuci slide-slide dengan PBS (3 x 5 menit) 4) Immuno Hysto Chemistry (IHC) a) Hari pertama (1) Slide siap di IHC (Blocking endogen). Chamber bagian bawah dikasih tissue yang dibasahi agar tetap lembab dan jaringannya jangan sampai terhapus tissue.  Ditambah 3% H2O2 dalam methanol inkubasi 15 menit  Dicuci PBS steril 3 x 5 menit (2) Blocking unspesifik protein agar tidak ada antigen-antigen spesifik yang tercampur.  Ditambah 0,25% triton (untuk mempermudah penetrasi ke jaringan) dalam buffer PBS + 5% FBS selama 60 menit pada suhu ruang  Dicuci PBS steril 3 x 5 menit (3) Inkubasi antibosi primer (monoclonal)  Ditambah antibodi primer yang dilarutkan dalam buffer PBS + 5% FBS  Inkubasi overnight pada suhu 4°C (±18 jam)  Esok harinya dikeluarkan dari suhu 4°C , ditunggu sampai suhu ruang, kemudian dicuci PBS steril 3 x 5 menit b) Hari kedua (1) Inkubasi antibody sekunder Dari kit diperuntukkan untuk goat, mouse dan rabbit yang sudah terlabel biotin dengan metode LSAB (Strepavidin)  avidin diganti/diubah strepavidin karena lebih stabil ikatan Ag-Ab dan enzim substrat untuk memberikan pewarnaan pada Ag-Ab  Ditambah antibody sekunder, inkubasi 60 menit pada suhu ruang  Dicuci PBS steril 3 x 5 menit  Berwarna kuning (2) Inkubasi SA-HRP (Strepavidin Horseradish Peroxidase) berupa enzim.  Ditambah SA-HRP (1-2 tetes sampai jaringan tertutupi cairan SA-HRP kemudian dimasukkan dalam chamber dan tidak boleh digoyang-goyang. Terdapat 6 slide yang berbeda perlakuannya. Gambar 2.3 Enam Slide dimasukkan dalam chamber  Dicuci PBS steril 3 x 5 menit (3) Aplikasi chromagen DAB (Diaminobenzidine)  berwarna coklat  Ditambah DAB (DAB chromagen : DAB Buffer = 1 : 50). Ingin membuat 800 µL buffer, maka 1/50 x 800 µL = 16 µL chromagen, berarti DAB chromagen : DAB buffer = 16 : 800 µL  dimasukkan dalam eppendorf = 816 µL  diteteskan pada 6 slide masing-masing sampel e-Nos 20 µL, NFKB 20 µL sampai cairan menutupi jaringan. Kemudian diinkubasi 10-20 menit diganti 15 menit pada suhu ruang  Dicuci PBS steril 3 x 5 menit  Dicuci aquadest 3 x 5 menit (4) Counterstain dengan Mayer’s Hematoxilen  berwarna ungu.  Ditambah Mayer’s : Tap water/air kran = 1 : 25. Ingin memnuat 1500 µL tap water, maka 1/25 x 1500 = 60 µL Mayer’s  dimasukkan dalam eppendorf = 1560 µL  diteteskan pada 6 slide masing-masing sampel e-Nos 50 µL, NFKB 50 µL sampai cairan menutupi jaringan. Kemudian diinkubasi 5-10 menit pada suhu ruang  Dibilas dengan tap water (5) Mounting dengan entellan (alat per 1000 pengamatan)  Dikeringkan dan dianginkan (6) Diamati dibawah mikroskop   BAB III HASIL PENELITIAN 3.1 Hasil Pemeriksaan Spektofotometri Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Spektofotometri Bovine Serum Albumin (BSA) Standart Standard Konsentrasi Standart (µg/ml) Absorbansi Std1 0.125 0.054 Std2 0.25 0.07 Std3 0.5 0.074 Std4 1 0.103 Std5 2 0.152 Grafik 3.1 Kurva Standart BSA Pada hasil spektofotometri ini didapatkan nilai R2 pada kurva 0,990, yang artinya tingkat akurasinya tinggi, karena untuk mendapatkan akurasi yang baik dibutuhkan nilai R2 mendekati 1. Karena tingkat akurasinya yang tinggi, maka standart ini bisa dipakai dalam pengukuran selanjutnya. Dari standart tersebut, diketahui R2-nya 0,990 yaitu mendekati 1, oleh karena itu kurva ini merupakan kurva yang dapat diterima untuk menghitung kadar sampel dalam pembelajaran ini. Dari perhitungan menggunakan kurva diatas, didapatkan konsentrasi salmonella thyposa pada sampel protein sapi dalam nano liter pada masing masing sampel. Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Spektofotometri Sampel Sampel Absorbansi sampel Konsentrasi Sampel (µg/ml) Konsentrasi sampel x Fp (Faktor Pengencer) Spl 1 0.046 -0.1 -4 Spl 2 0.05 -0.02 -0.8 Spl 3 0.065 0.28 11.2 Spl 4 0.054 0.06 2.4 Spl 5 0.083 0.64 25.6 Secara umum, proses pelaksanaan langkah-langkah spektofometri sudah diterapkan dengan benar dibawah bimbingan laboran dari Lab.Biomedik, dan semua peserta mengikuti dengan antusias prosesnya mulai dari awal, namun karena memang keterbatasan alat, tidak semua mahasiswa mencoba dari awal sampai akhir, dan dilakukan prosesnya secara bergantian pada tiap-tiap proses. Kembal lagi pada tujuan pembelajaran praktikum ini, maka hal tersebut kami lakukan agar proses pembelajaran berjalan sesuai, dan yang terpenting mahasiswa mengetahui mana yang benar, dan mana yang salah, serta memahami solusi pemecahan masalahnya. Untuk menghitung kadar salmonella thyposa pada sampel protein sapi digunakan cara regresi linier, namun persamaan garis yang dipakai pada standart adalah persamaan logaritma. Pertama, absorbansi sampel salmonella thyposa hasil spetrophotometri dibuat pada tabel Ms. Excel. Kemudian dibuat logaritma dari data absorbansi tersebut dan dibuat logaritma dari standart, lalu dibuatlah persamaan garis terhadap Log absorbansi dan Log konsentrasi dengan sumbu X sebagai Log konsentrasi dan sumbu Y sebagai Log absorbansi. Absorbansi dari sampel selanjutnya juga dibuat logaritmanya. Dengan persamaan garis tersebut, dapat dihitung dan diketahui logaritma konsentrasi salmonella thyposa pada sampel protein sapi. Berikutnya dibuat anti-logaritma dari Log konsentrasi salmonella thyposa yang sudah didapatkan, sehingga akan diketahui konsentrasi salmonella thyposa. Namun konsentrasi salmonella thyposa ini adalah konsentrasi dalam pengenceran 40 kali, sehingga untuk mengetahui konsentrasi salmonella thyposa sesungguhnya dalam sampel, konsentrasi yang telah kita dapat ini dikali 40. Pada pemeriksaan spektofotometri diatas, menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi maka semakin tinggi pula nilai absorbansinya baik pada standart maupun sampel. 3.2 Hasil Pemeriksaan ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) Gambar 3.1 Hasil Pemeriksaan ELIZA Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Standart ELIZA Standart Konsentrasi (µg/ml) Absorbansi 1 400 2.755 2 160 1.696 3 64 0.902 4 25.6 0.404 5 10.24 0.197 Grafik 3.2 Kurva Standart ELIZA Pada hasil ELISA ini didapatkan nilai R2 pada kurva 0,952, yang artinya tingkat akurasinya tinggi, karena untuk mendapatkan akurasi yang baik dibutuhkan nilai R2 mendekati 1. Karena tingkat akurasinya yang tinggi, maka standart ini bisa dipakai dalam pengukuran selanjutnya. Dari standart tersebut, diketahui R2-nya 0,952 yaitu mendekati 1, oleh karena itu kurva ini merupakan kurva yang dapat diterima untuk menghitung kadar sampel dalam pembelajaran ini. Dari perhitungan menggunakan kurva diatas, didapatkan konsentrasi IL-1β pada sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) (dalam nano liter) pada masing masing sampel. Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Sampel ELIZA Sampel Absorbansi Konsentrasi 1 0.034 -52.83333333 2 0.039 -52 Secara umum, proses pelaksanaan langkah-langkah ELISA sudah diterapkan dengan benar dibawah bimbingan laboran dari Lab.Biomedik, dan semua peserta mengikuti dengan antusias prosesnya mulai dari awal, namun karena memang keterbatasan alat, tidak semua mahasiswa mencoba dari awal sampai akhir, dan dilakukan prosesnya secara bergantian pada tiap-tiap proses. Kembal lagi pada tujuan pembelajaran praktikum ini, maka hal tersebut kami lakukan agar proses pembelajaran berjalan sesuai, dan yang terpenting mahasiswa mengetahui mana yang benar, dan mana yang salah, serta memahami solusi pemecahan masalahnya. Untuk menghitung kadar IL-1β pada sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) digunakan cara regresi linier, sama dengan cara yang digunakan untuk elektroforesis, namun persamaan garis yang dipakai pada standart adalah persamaan logaritma. Pertama, absorbansi IL-1β pada sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) hasil spectrophotometri dibuat pada tabel pada Ms. Excel. Kemudian dibuat logaritma dari data absorbansi tersebut dan dibuat logaritma dari standart, lalu dibuatlah persamaan garis terhadap Log absorbansi dan Log konsentrasi dengan sumbu X sebagai Log konsentrasi dan sumbu Y sebagai Log absorbansi. Absorbansi dari sampel selanjutnya juga dibuat logaritmanya. Dengan persamaan garis tersebut, dapat dihitung dan diketahui logaritma konsentrasi IL-1β pada sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus). Pada pemeriksaan ELIZA diatas, menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi maka semakin tinggi pula nilai absorbansinya baik pada standart maupun sampel. 3.3 Hasil Pemeriksaan SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis), Western Blotting (Imunoperoksidase) Dan Dot Blotting (Immunoperoksidase) Gambar 3.2 Hasil SDS-PAGE Pada gambar diatas, menunjukkan bahwa protein-protein dari 8 sampel terpisahkan berdasarkan berat molekulnya kemudian dibandingkan dengan marker untuk mengetahui berat molekulnya. Dari hasil pemeriksaan berbagai band (pita) harusnya dilakukan penghitungan statistik berat molekul dari protein akan tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan penghitungan berat molekulnya berdasarkan pengitungan secara statistik akan tetapi melalui penghitungan kasar. Berdasarkan pada penghitungan kasar, sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) benar terekspresi protein villi AD36 yang kemudian dilanjutkan ke pemeriksaan berikutnya yaitu berat molekul dari protein villi AD36 pada sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) adalah diantara warna violet dan blue. Untuk warna blue (biru) berat molekulnya adalah 28 kD, sedangkan untuk warna violet, berat molekulnya adalah 37 kD. Kesimpulannya adalah dari pemeriksaan berbagai band dengan perhitungan kasar (bukan penghitungan statistik) diketahui bahwa sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) benar terekspresi protein villi AD36 dengan berat molekul antara warna blue dan violet (28-37 kD). Gambar 3.3 Hasil Western Blotting Fungsi penelitian western blotting ini adalah untuk deteksi protein spesifik dan berat molekul dari sampel protein villi AD36 dari bakteri salmonella typosa. Pada gambar 3.3 menunjukkan terdeteksinya protein spesifik atau antigen pada sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) yang telah ditambahkan antibodi pengikat Ag (anti mouse) dalam homogenat/ekstrak kemudian membandingkannya dengan marker diketahui hasil protein spesifik atau antigen yang terdeteksi adalah protein villi AD36 dengan berat molekul antara warna blue dan violet (28-37 kD). Gambar 3.4 Hasil Dot Blotting menggunakan Konjugat AP dan substrat Western Blue Keterangan : Gradasi warna menunjukkan adanya variasi konsentrasi antibodi yang dideteksi (konsentrasi antibodi semakin tinggi, warna semakin gelap). Fungsi Dot Blotting pada penelitian ini adalah untuk deteksi di crude protein ada tidaknya protein spesifik. Berdasarkan deteksi di crude protein dipakai antibody anti mouse 36 kD pada sampel. Pada sampel pada gambar diatas menggunakan bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus). Terdapat 2 sumuran yang terdiri dari : 1) sumuran pertama terdapat 1 kontrol dan 6 sampel; 2) sumuran kedua terdapat 4 sampel. Dari sumuran pertama diketahui hasil gradasi warna gelap (konsentrasi tinggi ikatan Ag-Ab protein spesifik AD36) terdapat pada sampel 3,4,5,6; hasil gradasi warna terang (konsentrasi rendah ikatan Ag-Ab protein spesifik AD36) terdapat pada control dan sampel no 1,2. Sedangkan dari sumuran kedua diketahui hasil gradasi warna gelap (konsentrasi tinggi ikatan Ag-Ab protein spesifik AD36) terdapat pada sampel 2,3,4; hasil gradasi warna terang (konsentrasi rendah ikatan Ag-Ab protein spesifik AD36) terdapat pada sampel no 1. Fungsi lain dari dot blotting adalah untuk obat imunisasi adalah dengan cara yang warna gelap dicairkan lagi untuk penghitungan konsentrasinya. Akan tetapi dalam penelitian ini hanya ingin mengetahui ada tidaknya protein spesifik di crude protein dan bukan untuk membuat obat imunisasi. 3.4 Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia Gambar 3.5 e-Nos dari jaringan otak mencit yang terpapar malaria mergie Gambar 3.6 NFкB dari jaringan otak mencit yang terpapar malaria mergie Keterangan gambar : Dari Imunohistokimia pada preparat jaringan otak mencit yang diperkirakan terdapat sel malaria mergie, sel malaria mergie tersebut akan terwarnai dengan warna coklat. Dari preparat pertama (e-Nos) dan pada preparat kedua (NFкB) terdapat banyak warna coklat (DAB +) daripada yang warna ungu (DAB -), sehingga diperkirakan ada banyak malaria mergie pada jaringan otak mencit tersebut. Diskusi Pada pelatihan penelitian ini langkah-langkah Imunohistokimia sudah dilakukan dengan teratur dan semua peserta telah mengetahui dasar teori dan prosedur Imunohistokimia ini. Namun proses preparasi sampel tidak seluruhnya dilakukan oleh peserta. Preparasi sampel terdiri dari pengambilan jaringan yang masih segar, fiksasi jaringan biasanya menggunakan formaldehid, embedding jaringan dengan parafin atau dibekukan pada nitrogen cair, pemotongan jaringan dengan menggunakan mikrotom, deparafinisasi dan antigen retrieval untuk membebaskan epitop jaringan, dan bloking dari protein tidak spesifik lain. Peserta pelatihan memulai pada saat preparat sampel sudah dilakukan deparafinisasi, sehingga hanya proses bloking protein tidak spesifik dari proses preparasi sampel saja yang dilakukan oleh peserta. Namun telah dilakukan penjelasan secara rinci dari laboran biomedik tentang preparasi sampel. Proses antigen retrieval diperlukan setelah dilakukan deparafinisasi karena proses tersebut akan membuat epitop dari jaringan tersebut lebih terlihat atau lebih dominan dibandingkan dengan tidak dilakukan antigen retrieval sehingga nantinya antibodi primer yang diberikan akan dapat mengenali epitopnya dengan baik. Selanjutnya dilakukan bloking protein tidak spesifik, hal ini bertujuan untuk menutupi sisi protein lain, sehingga antibodi tidak mengenali protein lain yang tidak dimaksud. Hal ini dapat mengurangi bias. Pelatihan penelitian ini menggunakan teknik Imunohistokimia secara indirect. Pada proses selanjutnya adalah sampel labeling yang terdiri dari imunodeteksi menggunakan antibodi primer dan sekunder, pemberian substrat, dan counterstaining untuk mewarnai jaringan lain di sekitarnya. Antibodi primer yang digunakan adalah antibodi yang spesifik terhadap protein sel malaria mergie. Setelah diberikan antibodi primer, preparat dicuci, sehingga antibodi primer yang tidak berikatan akan terbuang. Berikutnya diberikan antibodi sekunder yang spesifik terhadap antibodi primer, sehingga antibodi sekunder ini akan berikatan dengan antibodi primer. Antibodi sekunder ini dimodifikasi sehingga memiliki molekul indikator pada antibodi tersebut. Pada pelatihan penelitian ini, molekul indikator yang digunakan adalah SAHRP yang berikatan dengan H2O2. Setiap 1 antibodi primer dapat dikenali oleh lebih dari 1 antibodi sekunder yang memiliki SAHRP. Selanjutnya diberikan kromagen diaminobenzidine (DAB). DAB ini akan bereaksi dengan H2O2 yang terdapat pada SAHRP antibodi sekunder dan akan dihasilkan produk reaksi berwarna coklat yang dapat kita lihat. Oleh karena lebih dari 1 antibadi sekunder yang berikatan dengan antibidi primer, maka DAB yang bereaksi dengan H2O2 akan semakin banyak dan akan menghasilkan warna yang lebih jelas dibandingkan dengan metode direct yang tidak menggunakan antibodi sekunder. Proses terakhir adalah counterstaining, yaitu memberikan warna lain pada jaringan yang tidak terwarnai oleh proses Imunohistokimia. Pada pelatihan penelitian ini menggunakan mayer’s hematoxilen sebagai counterstaining yang nantinya akan memberikan warna keunguan pada jaringan lainnya. Counterstaining bertujuan untuk memberikan warna kontras terhadap hasil Imunohistikimia, sehingga jaringan berwarna coklat dapat terlihat jelas dibandingkan dengan jaringan sekitarnya. Pada hasil Imunohistokimia dari pelatihan penelitian ini, terlihat adanya sel malaria mergie yang terwarna coklat diantara jaringan lain yang berwarna keunguan.   BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 3.1.1 Hasil pemeriksaan spektofotometri didapat nilai absorbansi dari BSA standart pada konsentrasi 0,125; 0,25; 0,5; 1; 2 pada panjang gelombang 540 nm, absorbansinya berturut-turut 0,054; 0,07;0 ,074; 0,103; 0,152 sehingga melalui perhitungan berdasarkan persamaan garis dan grafik hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi didapatkan nilai R2 pada kurva 0,990, yang artinya tingkat akurasinya tinggi, karena untuk mendapatkan akurasi yang baik dibutuhkan nilai R2 mendekati 1. Karena tingkat akurasinya yang tinggi, maka standart ini bisa dipakai dalam pengukuran selanjutnya. Sedangkan nilai absorbansi dari sampel salmonella thyposa berturut-turut 0,146; 0,05; 0,065; 0,054; 0,083 diketahui konsentrasi sampel adalah -0,1; -0,02; 0,28; 0,06; 0,64 dan hasil konsentrasi sampel dalam pengenceran 40 kali adalah -4, -0,8; 11,2; 2,4; 25,6. 3.1.2 Hasil pemeriksaan ELIZA bermanfaat untuk mengukur kadar IL-1β melalui prinsip pengikatan antigen-antibodi yang diukur dengan besar absorbansinya. Pada percobaan didapat nilai absorbansi dari BSA standart pada konsentrasi 400; 160; 64; 25,6; 10,24 µg/ml pada panjang gelombang 540 nm, absorbansinya berturut-turut 2,755; 1,696; 0,902; 0,404; 0,197 sehingga melalui perhitungan berdasarkan persamaan garis dan grafik hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi didapatkan nilai R2 pada kurva 0,952, yang artinya tingkat akurasinya tinggi, karena untuk mendapatkan akurasi yang baik dibutuhkan nilai R2 mendekati 1. Karena tingkat akurasinya yang tinggi, maka standart ini bisa dipakai dalam pengukuran selanjutnya. Sedangkan nilai absorbansi IL-1β dari sampel berturut-turut 0,034; 0,039 diketahui konsentrasi sampel adalah -52,83333333; -52. 3.1.3 Hasil pemeriksaan pada SDS-PAGE dari pemeriksaan berbagai band dengan perhitungan kasar (bukan penghitungan statistik) diketahui bahwa sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) benar terekspresi protein villi AD36 dengan berat molekul antara warna blue dan violet (28-37 kD). Hasil pemeriksaan pada western blotting diketahui bahwa terdeteksinya protein spesifik atau antigen pada sampel bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus) yang telah ditambahkan antibodi pengikat Ag (anti mouse) dalam homogenat/ekstrak kemudian membandingkannya dengan marker diketahui hasil protein spesifik atau antigen yang terdeteksi adalah protein villi AD36 dengan berat molekul antara warna blue dan violet (28-37 kD). Hasil pemeriksaan dot blotting diketahui bahwa berdasarkan deteksi di crude protein dipakai antibody anti mouse 36 kD pada sampel. Pada sampel pada gambar diatas menggunakan bakteri salmonella typosa pada mouse (tikus). Terdapat 2 sumuran yang terdiri dari : 1) sumuran pertama terdapat 1 kontrol dan 6 sampel; 2) sumuran kedua terdapat 4 sampel. Dari sumuran pertama diketahui hasil gradasi warna gelap (konsentrasi tinggi ikatan Ag-Ab protein spesifik AD36) terdapat pada sampel 3,4,5,6; hasil gradasi warna terang (konsentrasi rendah ikatan Ag-Ab protein spesifik AD36) terdapat pada control dan sampel no 1,2. Sedangkan dari sumuran kedua diketahui hasil gradasi warna gelap (konsentrasi tinggi ikatan Ag-Ab protein spesifik AD36) terdapat pada sampel 2,3,4; hasil gradasi warna terang (konsentrasi rendah ikatan Ag-Ab protein spesifik AD36) terdapat pada sampel no 1. 3.1.4 Hasil pemeriksaan Imunohistokimia pada preparat jaringan otak mencit yang diperkirakan terdapat sel malaria mergie, sel malaria mergie tersebut akan terwarnai dengan warna coklat. Dari preparat pertama (e-Nos) dan pada preparat kedua (NFкB) terdapat banyak warna coklat (DAB +) daripada yang warna ungu (DAB -), sehingga diperkirakan ada banyak malaria mergie pada jaringan otak mencit tersebut. 4.2 Saran Diharapkan pemeriksaan spektofotometri, ELIZA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay), SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis); Western Blotting (Imunoperoksidase); Dot Blotting (Immunoperoksidase), Imunohistokimia dapat meningkatkan kompetensi profesi kebidanan dalam memberikan pelayanan kebidanan kepada ibu, bayi, keluarga dan masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesehatan bagi ibu, bayi, keluarga maupun masyarakat.   Lampiran Spektofotometri     Lampiran ELIZA   Lampiran SDS-PAGE, Western Blotting, Dot Blotting   Lampiran Imnunohistokimia